A. SEJARAH PERGERAKAN MAHASISWA
Mahasiswa merupakan salah satu
elemen penting dalam setiap episode panjang perjalanan bangsa ini. Hal ini
tentu saja sangat beralasan mengingat bagaimana pentingnya peran mahasiswa yang
selalu menjadi aktor perubahan dalam setiap momen - momen bersejarah di
Indonesia. Sejarah telah banyak mencatat, dari mulai munculnya Kebangkitan
Nasional hingga Tragedi 1998, mahasiswa selalu menjadi garda terdepan. Beberapa
tahun belakangan ini telah banyak tercatat bahwa sudah beberapa kali mahasiswa
menancapkan taji intelektualitasnya secara aplikatif dalam memajukan peradaban
bangsa ini dari masa penjajahan Belanda, Masa Penjajahan Jepang, Masa
Pemberontakan PKI, Masa Orde Lama, Hingga Masa orde baru, peran mahasiswa tidak
pernah absen dalam catatan peristiwa penting tersebut.
1908
Boedi Oetomo,
adalah suatu wadah perjuangan yang pertama kali memiliki struktur
pengorganisasian modern. Didirikan di Jakarta, 20 Mei
1908 oleh
pemuda-pelajar-mahasiswa dari lembaga pendidikan STOVIA, wadah ini merupakan
refleksi sikap kritis dan keresahan intelektual terlepas dari primordialisme
Jawa yang ditampilkannya.
Pada konggres yang pertama di Yogyakarta,
tanggal 5 Oktober 1908 menetapkan tujuan perkumpulan : Kemajuan yang
selaras buat negeri dan bangsa, terutama dengan memajukan pengajaran,
pertanian, peternakan dan dagang, teknik dan industri, serta kebudayaan.
Dalam 5 tahun permulaan Budi Oetomo
sebagai perkumpulan, tempat keinginan-keinginan bergerak maju dapat
dikeluarkan, tempat kebaktian terhadap bangsa dinyatakan, mempunyai kedudukan
monopoli dan oleh karena itu BU maju pesat, tercatat akhir tahun 1909 telah
mempunyai 40 cabang dengan lk.10.000 anggota.
Disamping itu, para mahasiswa
Indonesia yang sedang belajar di Belanda, salah satunya Mohammad
Hatta yang saat itu sedang belajar di Nederland Handelshogeschool di
Rotterdam
mendirikan Indische Vereeninging yang
kemudian berubah nama menjadi Indonesische Vereeninging tahun 1922, disesuaikan
dengan perkembangan dari pusat kegiatan diskusi menjadi wadah yang berorientasi
politik dengan jelas. Dan terakhir untuk lebih mempertegas identitas
nasionalisme yang diperjuangkan, organisasi ini kembali berganti nama baru
menjadi Perhimpunan Indonesia, tahun 1925.
Berdirinya Indische Vereeninging
dan organisasi-organisasi lain,seperti: Indische
Partij yang melontarkan propaganda kemerdekaan Indonesia, Sarekat Islam,
dan Muhammadiyah
yang beraliran nasionalis demokratis dengan dasar agama, Indische
Sociaal Democratische Vereeninging (ISDV) yang berhaluan Marxisme,
menambah jumlah haluan dan cita-cita terutama ke arah politik. Hal ini di satu
sisi membantu perjuangan rakyat Indonesia, tetapi di sisi lain sangat
melemahkan BU karena banyak orang kemudian memandang BU terlalu lembek oleh
karena hanya menuju "kemajuan yang selaras" dan terlalu sempit
keanggotaannya (hanya untuk daerah yang berkebudayaan Jawa) meninggalkan BU.
Oleh karena cita-cita dan pemandangan umum berubah ke arah politik, BU juga
akhirnya terpaksa terjun ke lapangan politik.
Kehadiran Boedi Oetomo,Indische
Vereeninging, dll pada masa itu merupakan suatu episode sejarah yang menandai
munculnya sebuah angkatan pembaharu dengan kaum terpelajar dan mahasiswa
sebagai aktor terdepannya, yang pertama dalam sejarah Indonesia : generasi
1908, dengan misi utamanya menumbuhkan kesadaran kebangsaan dan hak-hak
kemanusiaan dikalangan rakyat Indonesia untuk memperoleh kemerdekaan, dan
mendorong semangat rakyat melalui penerangan-penerangan pendidikan yang mereka
berikan, untuk berjuang membebaskan diri dari penindasan kolonialisme.
1928
Pada pertengahan 1923, serombongan
mahasiswa yang bergabung dalam Indonesische Vereeninging (nantinya berubah
menjadi Perhimpunan Indonesia) kembali ke tanah air. Kecewa dengan perkembangan
kekuatan-kekuatan perjuangan di Indonesia, dan melihat situasi politik yang di
hadapi, mereka membentuk kelompok studi yang dikenal amat berpengaruh, karena
keaktifannya dalam diskursus kebangsaan saat itu. Pertama, adalah Kelompok
Studi Indonesia (Indonesische Studie-club) yang dibentuk di Surabaya
pada tanggal 29 Oktober 1924 oleh Soetomo.
Kedua, Kelompok Studi Umum (Algemeene Studie-club)
direalisasikan oleh para nasionalis dan mahasiswa Sekolah Tinggi Teknik di
Bandung yang dimotori oleh Soekarno pada tanggal 11 Juli 1925.
Diinspirasi oleh pembentukan
Kelompok Studi Surabaya dan Bandung, menyusul kemudian Perhimpunan Pelajar Pelajar Indonesia
(PPPI), prototipe organisasi yang menghimpun seluruh elemen gerakan mahasiswa
yang bersifat kebangsaan tahun 1926, Kelompok Studi St. Bellarmius yang menjadi
wadah mahasiswa Katolik, Cristelijke Studenten Vereninging (CSV) bagi mahasiswa
Kristen, dan Studenten Islam Studie-club (SIS) bagi mahasiswa Islam pada tahun
1930-an.
Dari kebangkitan kaum terpelajar,
mahasiswa, intelektual, dan aktivis pemuda itulah, munculnya generasi baru
pemuda Indonesia yang memunculkan Sumpah Pemuda
pada tanggal 28 Oktober 1928. Sumpah Pemuda dicetuskan melalui Konggres Pemuda
II yang berlangsung di Jakarta pada 26-28 Oktober 1928, dimotori oleh PPPI.
1945
Dalam perkembangan berikutnya, dari
dinamika pergerakan nasional yang ditandai dengan kehadiran kelompok-kelompok
studi, dan akibat pengaruh sikap penguasa Belanda yang menjadi Liberal, muncul
kebutuhan baru untuk menjadi partai politik, terutama dengan tujuan memperoleh
basis massa yang luas. Kelompok Studi Indonesia berubah menjadi Partai Bangsa
Indonesia (PBI), sedangkan Kelompok Studi Umum menjadi Perserikatan Nasional Indonesia
(PNI).
Secara umum kondisi pendidikan
maupun kehidupan politik pada zaman pemerintahan Jepang jauh lebih represif
dibandingkan dengan kolonial Belanda, antara lain dengan melakukan pelarangan
terhadap segala kegiatan yang berbau politik; dan hal ini ditindak lanjuti
dengan membubarkan segala organisasi pelajar dan mahasiswa, termasuk partai
politik, serta insiden kecil di Sekolah Tinggi Kedokteran Jakarta yang
mengakibatkan mahasiswa dipecat dan dipenjarakan.
Praktis, akibat kondisi yang vacuum
tersebut, maka mahasiswa kebanyakan akhirnya memilih untuk lebih mengarahkan
kegiatan dengan berkumpul dan berdiskusi, bersama para pemuda lainnya terutama
di asrama-asrama. Tiga asrama yang terkenal dalam sejarah, berperan besar dalam
melahirkan sejumlah tokoh, adalah Asrama Menteng Raya, Asrama Cikini, dan
Asrama Kebon Sirih. Tokoh-tokoh inilah yang nantinya menjadi cikal bakal
generasi 1945, yang menentukan kehidupan bangsa.
Salah satu peran angkatan muda 1945
yang bersejarah, dalam kasus gerakan kelompok bawah tanah yang antara lain
dipimpin oleh Chairul Saleh dan Soekarni
saat itu, yang terpaksa menculik dan mendesak Soekarno dan Hatta agar
secepatnya memproklamirkan kemerdekaan, peristiwa ini dikenal kemudian dengan peristiwa Rengasdengklok.
1966
Sejak kemerdekaan, muncul kebutuhan
akan aliansi antara kelompok-kelompok mahasiswa, di antaranya Perserikatan
Perhimpunan Mahasiswa Indonesia (PPMI), yang dibentuk melalui
Kongres Mahasiswa yang pertama di Malang tahun 1947.
Selanjutnya, dalam masa Demokrasi
Liberal (1950-1959), seiring dengan penerapan sistem kepartaian yang majemuk
saat itu, organisasi mahasiswa ekstra kampus kebanyakan merupakan organisasi
dibawah partai-partai politik. Misalnya, GMKI Gerakan
Mahasiswa kristen Indonesia, PMKRI Perhimpunan
Mahasiswa Katholik Republik Indonesia dengan Partai Katholik,Gerakan
Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI) dekat dengan PNI, Concentrasi
Gerakan Mahasiswa Indonesia (CGMI) dekat dengan PKI, Gerakan
Mahasiswa Sosialis Indonesia (Gemsos) dengan PSI, Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia
(PMII) berafiliasi dengan Partai NU, Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) dengan
Masyumi, dan lain-lain.
Di antara organisasi mahasiswa pada
masa itu, CGMI lebih menonjol setelah PKI tampil sebagai salah satu partai kuat
hasil Pemilu 1955. CGMI secara berani menjalankan politik konfrontasi dengan
organisasi mahasiswa lainnya, bahkan lebih jauh berusaha memengaruhi PPMI,
kenyataan ini menyebabkan perseteruan sengit antara CGMI dengan HMI dan, terutama
dipicu karena banyaknya jabatan kepengurusan dalam PPMI yang direbut dan
diduduki oleh CGMI dan juga GMNI-khususnya setelah Konggres V tahun 1961.
Mahasiswa membentuk Kesatuan Aksi
Mahasiswa Indonesia (KAMI) tanggal 25 Oktober 1966 yang merupakan hasil
kesepakatan sejumlah organisasi yang berhasil dipertemukan oleh Menteri
Perguruan Tinggi dan Ilmu Pendidikan (PTIP) Mayjen dr. Syarief Thayeb, yakni
PMKRI, HMI,PMII,Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia (GMKI), Sekretariat Bersama
Organisasi-organisasi Lokal (SOMAL), Mahasiswa Pancasila (Mapancas), dan Ikatan
Pers Mahasiswa (IPMI). Tujuan pendiriannya, terutama agar para aktivis
mahasiswa dalam melancarkan perlawanan terhadap PKI menjadi lebih terkoordinasi
dan memiliki kepemimpinan.
Munculnya KAMI diikuti berbagai
aksi lainnya, seperti Kesatuan Aksi Pelajar Indonesia (KAPI), Kesatuan Aksi
Pemuda Pelajar Indonesia (KAPPI), Kesatuan Aksi Sarjana Indonesia (KASI), dan
lain-lain.
Pada tahun 1965 dan 1966, pemuda dan mahasiswa
Indonesia banyak terlibat dalam perjuangan yang ikut mendirikan Orde Baru.
Gerakan ini dikenal dengan istilah Angkatan '66, yang menjadi awal kebangkitan
gerakan mahasiswa secara nasional, sementara sebelumnya gerakan-gerakan
mahasiswa masih bersifat kedaerahan. Tokoh-tokoh mahasiswa saat itu adalah
mereka yang kemudian berada pada lingkar kekuasaan Orde Baru, di antaranya Cosmas
Batubara (Eks Ketua Presidium KAMI Pusat), Sofyan Wanandi, Yusuf Wanandi ketiganya
dari PMKRI,Akbar Tanjung dari HMI dll. Angkatan '66
mengangkat isu Komunis
sebagai bahaya laten negara. Gerakan ini berhasil membangun kepercayaan
masyarakat untuk mendukung mahasiswa menentang Komunis yang ditukangi oleh PKI (Partai Komunis
Indonesia). Setelah Orde Lama berakhir, aktivis Angkatan '66 pun
mendapat hadiah yaitu dengan banyak yang duduk di kursi DPR/MPR serta diangkat
dalam kabibet pemerintahan Orde Baru.
1974
Realitas berbeda yang dihadapi
antara gerakan mahasiswa 1966 dan 1974, adalah bahwa jika generasi 1966
memiliki hubungan yang erat dengan kekuatan militer, untuk generasi 1974 yang
dialami adalah konfrontasi dengan militer.
Sebelum gerakan mahasiswa 1974
meledak, bahkan sebelum menginjak awal 1970-an, sebenarnya para mahasiswa telah
melancarkan berbagai kritik dan koreksi terhadap praktek kekuasaan rezim Orde
Baru, seperti:
·
Golput yang menentang
pelaksanaan pemilu
pertama pada masa Orde Baru pada 1972 karena Golkar
dinilai curang.
·
Gerakan menentang pembangunan Taman Mini Indonesia Indah pada 1972 yang menggusur banyak rakyat kecil yang tinggal di
lokasi tersebut.
Diawali dengan reaksi terhadap
kenaikan harga Bahan Bakar Minyak (BBM), aksi protes lainnya yang paling
mengemuka disuarakan mahasiswa adalah tuntutan pemberantasan korupsi. Lahirlah,
selanjutnya apa yang disebut gerakan "Mahasiswa Menggugat" yang
dimotori Arif Budiman yang progaram
utamanya adalah aksi pengecaman terhadap kenaikan BBM, dan korupsi.
Menyusul aksi-aksi lain dalam skala
yang lebih luas, pada 1970 pemuda dan mahasiswa kemudian mengambil inisiatif
dengan membentuk Komite Anti Korupsi (KAK) yang diketuai oleh Wilopo.
Terbentuknya KAK ini dapat dilihat merupakan reaksi kekecewaan mahasiswa
terhadap tim-tim khusus yang disponsori pemerintah, mulai dari Tim
Pemberantasan Korupsi (TPK), Task Force UI sampai Komisi Empat.
Berbagai borok pembangunan dan
demoralisasi perilaku kekuasaan rezim Orde Baru terus mencuat. Menjelang Pemilu
1971, pemerintah Orde Baru telah melakukan berbagai cara dalam bentuk rekayasa
politik, untuk mempertahankan dan memapankan status quo dengan mengkooptasi kekuatan-kekuatan
politik masyarakat antara lain melalui bentuk perundang-undangan. Misalnya,
melalui undang-undang yang mengatur tentang pemilu, partai politik, dan
MPR/DPR/DPRD.
Muncul berbagai pernyataan sikap
ketidakpercayaan dari kalangan masyarakat maupun mahasiswa terhadap sembilan
partai politik dan Golongan Karya sebagai pembawa aspirasi rakyat. Sebagai
bentuk protes akibat kekecewaan, mereka mendorang munculnya Deklarasi Golongan
Putih (Golput)
pada tanggal 28 Mei
1971 yang
dimotori oleh Arif Budiman, Adnan Buyung Nasution, Asmara
Nababan.
Dalam tahun 1972, mahasiswa jtyang
bernama aji uga telah melancarkan berbagai protes terhadap pemborosan anggaran
negara yang digunakan untuk proyek-proyek eksklusif yang dinilai tidak mendesak
dalam pembangunan,misalnya terhadap proyek pembangunan Taman Mini Indonesia Indah (TMII) di saat
Indonesia haus akan bantuan luar negeri.
Protes terus berlanjut. Tahun 1972,
dengan isu harga beras naik, berikutnya tahun 1973 selalu diwarnai dengan isu
korupsi sampai dengan meletusnya demonstrasi memprotes PM Jepang Kakuei Tanaka
yang datang ke Indonesia dan peristiwa
Malari pada 15 Januari 1974. Gerakan mahasiswa di
Jakarta meneriakan isu "ganyang korupsi" sebagai salah satu tuntutan
"Tritura Baru" disamping dua tuntutan lainnya Bubarkan Asisten
Pribadi dan Turunkan Harga; sebuah versi terakhir Tritura yang muncul setelah
versi koran Mahasiswa Indonesia di Bandung sebelumnya. Gerakan ini berbuntut
dihapuskannya jabatan Asisten Pribadi Presiden.
1977-1978
Setelah peristiwa Malari, hingga
tahun 1975 dan 1976, berita tentang aksi protes mahasiswa nyaris sepi.
Mahasiswa disibukkan dengan berbagai kegiatan kampus disamping kuliah sebagain
kegiatan rutin, dihiasi dengan aktivitas kerja sosial, Kuliah Kerja Nyata
(KKN), Dies Natalis, acara penerimaan mahasiswa baru, dan wisuda sarjana.
Meskipun disana-sini aksi protes kecil tetap ada.
Menjelang dan terutama saat-saat
antara sebelum dan setelah Pemilu 1977, barulah muncul kembali pergolakan
mahasiswa yang berskala masif. Berbagai masalah penyimpangan politik diangkat
sebagai isu, misalnya soal pemilu mulai dari pelaksanaan kampanye, sampai
penusukan tanda gambar, pola rekruitmen anggota legislatif, pemilihan gubernur
dan bupati di daerah-daerah, strategi dan hakekat pembangunan, sampai dengan
tema-tema kecil lainnya yang bersifat lokal. Gerakan ini juga mengkritik
strategi pembangunan dan kepemimpinan nasional.
Awalnya, pemerintah berusaha untuk
melakukan pendekatan terhadap mahasiswa, maka pada tanggal 24 Juli 1977
dibentuklah Tim Dialog Pemerintah yang akan berkampanye di berbagai perguruan
tinggi. Namun, upaya tim ini ditolak oleh mahasiswa. Pada periode ini
terjadinya pendudukan militer atas kampus-kampus karena mahasiswa dianggap
telah melakukan pembangkangan politik, penyebab lain adalah karena gerakan
mahasiswa 1978 lebih banyak berkonsentrasi dalam melakukan aksi diwilayah
kampus. Karena gerakan mahasiswa tidak terpancing keluar kampus untuk
menghindari peristiwa tahun 1974, maka akhirnya mereka diserbu militer dengan
cara yang brutal. Hal ini kemudian diikuti oleh dihapuskannya Dewan Mahasiswa
dan diterapkannya kebijakan NKK/BKK di seluruh
Indonesia.
Soeharto terpilih untuk ketiga
kalinya dan tuntutan mahasiswa pun tidak membuahkan hasil. Meski demikian,
perjuangan gerakan mahasiswa 1978 telah meletakkan sebuah dasar sejarah, yakni
tumbuhnya keberanian mahasiswa untuk menyatakan sikap terbuka untuk menggugat
bahkan menolak kepemimpinan nasional.
Gerakan
bersifat nasional namun tertutup dalam kampus, Oktober 1977
Gerakan mahasiswa tahun 1977/1978
ini tidak hanya berporos di Jakarta dan Bandung saja namun meluas secara
nasional meliputi kampus-kampus di kota Surabaya,
Medan,
Bogor,
Ujungpandang (sekarang Makassar), dan Palembang.
28 Oktober 1977, delapan ribu anak muda menyemut di depan kampus ITB. Mereka
berikrar satu suara, "Turunkan Suharto!". Besoknya, semua yang
berteriak, raib ditelan terali besi. Kampus segera berstatus darurat perang.
Namun, sekejap kembali tentram.
Peringatan
Hari Pahlawan 10 November 1977, berkumpulnya mahasiswa kembali
10 November 1977, di Surabaya
dipenuhi tiga ribu jiwa muda. Setelah peristiwa di ITB pada Oktober 1977,
giliran Kampus ITS
Baliwerti beraksi. Dengan semangat pahlawan, berbagai pimpinan mahasiswa
se-Jawa hadir memperingati hari Pahlawan 1977. Seribu mahasiswa berkumpul,
kemudian berjalan kaki dari Baliwerti menuju Tugu Pahlawan.
Sejak pertemuan 28 Oktober di Bandung,
ITS didaulat menjadi pusat konsentrasi gerakan di front timur. Hari pahlawan
dianggap cocok membangkitkan nurani yang hilang. Kemudian disepakati pusat
pertemuan nasional pimpinan mahasiswa di Surabaya.
Sementara di kota-kota lain,
peringatan hari Pahlawan juga semarak. Di Jakarta, 6000 mahasiswa berjalan kaki
lima kilometer dari Rawamangun (kampus IKIP) menuju Salemba (kampus UI),
membentangkan spanduk,"Padamu Pahlawan Kami Mengadu". Juga dengan
pengawalan ketat tentara.
Acara hari itu, berwarna sajak
puisi serta hentak orasi. Suasana haru-biru, mulai membuat gerah. Beberapa
batalyon tempur sudah ditempatkan mengitari kampus-kampus Surabaya. Sepanjang
jalan ditutup, mahasiswa tak boleh merapat pada rakyat. Aksi mereka dibungkam
dengan cerdik.
Konsolidasi berlangsung terus.
Tuntutan agar Soeharto turun masih menggema jelas, menggegerkan semua pihak.
Banyak korban akhirnya jatuh. Termasuk media-media nasional yang ikut
mengabarkan, dibubarkan paksa.
Pimpinan Dewan Mahasiswa (DM) ITS
rutin berkontribusi pada tiap pernyataan sikap secara nasional. Senat mahasiswa
fakultas tak henti mendorong dinamisasi ini. Mereka bergerak satu suara.
Termasuk mendukung Ikrar Mahasiswa 1977. Isinya hanya tiga poin namun berarti.
"Kembali pada Pancasila dan UUD 45, meminta pertanggungjawaban presiden,
dan bersumpah setia bersama rakyat menegakan kebenaran dan keadilan
Peringatan
Tritura 10 Januari 1978, dihentikannya gerakan oleh penguasa
Peringatan 12 tahun Tritura, 10
Januari 1978, peringatan 12 tahun Tritura itu jadi awal sekaligus akhir.
Penguasa menganggap mahasiswa sudah di luar toleransi. Dimulailah penyebaran
benih-benih teror dan pengekangan.
Sejak awal 1978, 200 aktivis
mahasiswa ditahan tanpa sebab. Bukan hanya dikurung, sebagian mereka
diintimidasi lewat interogasi. Banyak yang dipaksa mengaku pemberontak negara.
Tentara pun tidak sungkan lagi
masuk kampus. Berikutnya, ITB kedatangan pria loreng bersenjata. Rumah
rektornya secara misterius ditembaki orang tak dikenal.
Di UI, panser juga masuk kampus.
Wajah mereka garang, lembaga pendidikan sudah menjadi medan perang. Kemudian
hari, dua rektor kampus besar itu secara semena-mena dicopot dari jabatannya.
Alasannya, terlalu melindungi anak didiknya yang keras kepala.
Di ITS, delapan fungsionaris DM
masuk "daftar dicari" Detasemen Polisi Militer. Sepulang aksi dari
Jakarta, di depan kos mereka sudah ditunggui sekompi tentara. Rektor ITS waktu
itu, Prof Mahmud Zaki, ditekan langsung oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan
untuk segera membubarkan aksi dan men-drop out para pelakunya. Sikap rektor
seragam, sebisa mungkin ia melindungi anak-anaknya.
Beberapa berhasil tertangkap,
sisanya bergerilya dari satu rumah ke rumah lain. Dalam proses tersebut,
mahasiswa tetap "bergerak". Selama masih ada wajah yang aman dari
daftar, mereka tetap konsolidasi, sembunyi-sembunyi. Pergolakan kampus masih
panas, walau Para Rektor berusaha menutupi, intelejen masih bisa membaca jelas.
1990
Memasuki awal tahun 1990-an, di
bawah Mendikbud Fuad Hasan kebijakan NKK/BKK dicabut dan sebagai gantinya
keluar Pedoman Umum Organisasi Kemahasiswaan (PUOK). Melalui PUOK ini
ditetapkan bahwa organisasi kemahasiswaan intra kampus yang diakui adalah Senat
Mahasiswa Perguruan Tinggi (SMPT), yang didalamnya terdiri dari Senat Mahasiswa
Fakultas (SMF) dan Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM).
Dikalangan mahasiswa secara
kelembagaan dan personal terjadi pro kontra, menamggapi SK tersebut. Oleh
mereka yang menerima, diakui konsep ini memiliki sejumlah kelemahan namun
dipercaya dapat menjadi basis konsolidasi kekuatan gerakan mahasiswa. Argumen
mahasiswa yang menolak mengatakan, bahwa konsep SMPT tidak lain hanya semacam
hiden agenda untuk menarik mahasiswa ke kampus dan memotong kemungkinan aliansi
mahasiswa dengan kekuatan di luar kampus.
Dalam perkembangan kemudian, banyak
timbul kekecewaan di berbagai perguruan tinggi karena kegagalan konsep ini.
Mahasiswa menuntut organisasi kampus yang mandiri, bebas dari pengaruh
korporatisasi negara termasuk birokrasi kampus. Sehingga, tidaklah mengherankan
bila akhirnya berdiri Dewan Mahasiswa di UGM tahun 1994 yang kemudian diikuti
oleh berbagai perguruan tinggi di tanah air sebagai landasan bagi pendirian
model organisasi kemahasiswaan alternatif yang independen.
Dengan dihidupkannya model-model
kelembagaan yang lebih independen, meski tidak persis serupa dengan Dewan
Mahasiswa yang pernah berjaya sebelumnya upaya perjuangan mahasiswa untuk
membangun kemandirian melalui SMPT, menjadi awal kebangkitan kembali mahasiswa
pada tahun 1990-an.
Gerakan yang menuntut kebebasan
berpendapat dalam bentuk kebebasan akademik dan kebebasan mimbar akademik di
dalam kampus pada 1987
- 1990
sehingga akhirnya demonstrasi bisa dilakukan mahasiswa di dalam kampus
perguruan tinggi. Saat itu demonstrasi di luar kampus termasuk menyampaikan
aspirasi dengan longmarch ke DPR/DPRD tetap terlaranG
1998
Gerakan 1998 menuntut reformasi
dan dihapuskannya "KKN" (korupsi, kolusi dan nepotisme) pada 1997-1998, lewat pendudukan gedung DPR/MPR oleh ribuan
mahasiswa, akhirnya memaksa Presiden Soeharto
melepaskan jabatannya. Berbagai tindakan represif yang menewaskan aktivis
mahasiswa dilakukan pemerintah untuk meredam gerakan ini di antaranya: Peristiwa Cimanggis, Peristiwa
Gejayan, Tragedi Trisakti, Tragedi Semanggi I dan II , Tragedi
Lampung. Gerakan ini terus berlanjut hingga pemilu 1999.
B. FILSAFAT MAHASISWA
1) Definisi
Mahasiswa
Mentari menyala disini
Disini di dalam hatiku
Gemuruh sampai disini
Disini di urat darahku
Meskipun tembok yang tinggi
mengurunggku
Berlapis pagar duri sekitarku
Tak satupun yang mampu
menghalangiku
Menyalah dalam hatiku
Hari ini hari milik ku
Juga esok masi terbentang
Dan mentari kan tetap menyalah
Disini urat darahku
Ini
ada sebuah potongan bait dengan judul lagu “Mentari” oleh Iwan Abdulrahmat.
Lagu ini biasa sering dinyanyikan oleh mahasiswa khususnya ketika reformasi
1998. Lagu ini dinyanyikan mahasiswa ketika keadaan dalam sempit dan
mengharapkan sebuah setitik cahaya harapan yang membuat mereka tetap berjuang
dalam jalan mereka. Sungguh lagu yang sarat dengan Mahasiswa yang indentik
dengan pelaku perjuangan dan perubahan, yang ketika dinyanyikan membuat bulu
kuduk merinding.
Berdasarkan
peraturan pemerintah RI No.30 tahun 1990 Mahasiswa adalah peserta didik yang
terdaftar dan belajar di perguruan tinggi tertentu. Selanjutnya menurut Sarwono
(1978) mahasiswa adalah setiap orang yang secara resmi terdaftar untuk
mengikuti pelajaran di perguruan tinggi dengan batas usia sekitar 18-30 tahun.
Bahkan Knopfemacher (dalam Suwono, 1978) adalah merupakan insan-insan calon
sarjana yang dalam keterlibatannya dengan perguruan tinggi ( yang makin menyatu
dengan masyarakat ), dididik dan di harapkan menjadi calon-calon intelektual.
Berdasarkan
definisi – definisi tersebut dapat disimpulkan bahwa Mahasiswa adalah orang
yang terikat dengan resmi dengan kampus
yang diharapkan menjadi calon – calon intelektual yang nantinya memiliki
kontribusi terhadap masyarakat, ada bebarapa jenjang tingkatan mahasiswa yakni
Sarjana (S1) di harapkan mampu memahami konsep, pemetahan permasalahan dan
dapat memecahkan masalah sesuai dengan metode yang didalami, Magister (S2) di
harapkan mampu untuk merumusukan yang berguna dalam bidangnya, Doktor (S3) di
harapakan mampu menyumbangkan ilmu baru terhadap disiplin ilmu yang
ditekuninya.
Dari
semua strata ada hal yang harus terus secara konsisten diperlihatkan oleh
mahasiswa. Yaitu dalam menghadapi permasalahan, seorang mahasiswa harus
melakukan analisa terhadap masalah itu. Mencari bahan pendukung untuk lebih
memahami permasalahan tersebut. Kemudian memunculkan alternatif solusi dan
memilih satu solusi dengan pertimbangan yang matang. Dan pada akhirnya harus
mampu mempresentasikan solusi yang dipilih ke orang lain untuk mempertanggung
jawabkan pemilihan solusi tersbut.
2) Keistimewaan
Mahasiswa
Ada
beberapa keistimewaan mahasiswa yang sangat kental pada dirinya yaitu :
1.Kekuatan
Pemuda
Mahasiswa
memiliki darah Pemuda yang penuh dengan semangat serta dinamis dalam melakukan
segala aktivitasnya, hal ini menjadikan mahasiswa selalu memberikan banyak
pengaruh dalam perubahan sebuah bangsa.
2.Memberi
Tanpa Berpihak
Mahasiswa
memiliki pandangan jauh akan masa depan dan mempunyai sebuah pandangan
objektif, empiris dan rasional dalam setiap langkahnya. Kekuatan prinsip ini
menjadikan perjuangan mahasiswa terjaga idealismenya serta menjujung nilai
kejujuran dan kemurnian perjuangan.
3.Selalu
Bekerja
Dengan
wawasan yang luas yang didapat dari bangku kuliah, membaca buku, mengikuti
perkembangan terkini dan bergaul dengan kaum-kaum intelektual yakni sesama
mahasiswa dan dosen. Serta memiliki kepedulian yang tinggi terhadap sosial
menjadikan mahasiswa sebagai kaum yang progresif dan dinamis. Sifat ini
memberikan sebuah energi yang besar dalam bekerja secara terus menerus.
4.Wanita
dan Pria
Bangsa
ini terdiri dari wanita dan pria sedangkan, Mahasiswa komunitas terdiri dari
Wanita dan Pria, sehingga komunitas mahasiswa ini mampu memperjuangankan kaum
pria dan wanita
5.Tanpa
Kediktatoran
Mahasiswa
tidak bersifat pragmatis terhadap sebuah kepentingan yang bisa memicu perbedaan
dan perselisihan. Rasa kebebasan, netral dan merdeka sebagai seorang mahasiswa
mendorong mereka untuk terbuka dalam musyawarah demi mencapai keputusan yang
tepat, baik dan memihak kebenaran.
6.Internasional
Mahasiswa
tidak hanya berada di satu tetorial daerah tertentu atau negara tertentu tapi
mencakup seluruh dunia sehingga kesamaan status sebagai mahasiswa, membuat
mereka jauh dari fanatisme kedaerahan, agama, maupun ras. Mahasiswa bisa
bertemu dan berhimpun bersama atas nama mahasiswa tanpa adanya batasan bangsa
dan negara.
3) Peran
Dan Fungsi Mahasiswa
Masyarakat
terbentuk dari pribadi-pribadi manusia dan lingkungan yang didalamnya ada
nilai-nilai baku. jika unsur-unsur terjalin seimbang berarti masyarakat akan
kokoh dan matang. jika individu adalah dasar setiap masyarakat maka mahasiswa
adalah salah satu individu yang paling banyak memberikan kontribusi di
masyarakat, paling dinamis, berpengetahuan. dan dapat disimpulkan dan
dijabarkan bahwasannya mahasiswa merupakan kontributor yang paling berpengaruh
terhadap perubahan kondisi dinamika lingkungan dan bangsa.
Fungsi
mahasiswa itu sendiri sebagai :
1.Agent
of Change (agen perubahan)
2.Iron
Stock ( cadangan pemimpin masa depan)
3.Agent
of Control ( Agen Pengawasan )
4.Guardian
of Value ( pasukan penggerak Moral dan
nilai-nilai luhur bangsa )
Oleh
karena itu jika mahasiswa mengambil peran dalam pembangunan bangsa ini maka
diharapakan mencetak para pakar intelektual yang nasionalis, intelektual yang
mencintai bangsanya, intelektual yang membangun bangsa sehingga merubah kondisi
bangsa ini menjadi lebih baik.
C.Pergerakan Mahasiswa Sekarang
Pendahuluan
PADA perayaan ulang tahunnya yang ke-81 di tahun 2006,
Pramoedya Ananta Toer mengajukan sebuah pertanyaan yang cukup menarik: mengapa
pemuda yang dengan gemilang menyingkirkan rezim Soeharto, tidak menghasilkan
tokoh politik nasional? padahal pemudalah yang memberikan kepemimpinan dan
energi dalam setiap perubahan penting disepanjang sejarah Indonesia serta
tampil menjadi tokoh politik nasional. Mengapa sekarang tidak?.
Pertanyaan tersebut mencoba mencari apa yang terjadi
sebenarnya dalam gerakan mahasiswa atau pemuda ini di era reformasi. Para
mahasiswa bersama rakyat yang telah berhasil melengserkan Soeharto setelah 32
tahun memimpin pada mei 1998, tidak mampu turut menyingkirkan orang-orang dalam
lingkaran orba. Mereka tidak menghasilkan tokoh populis yang menuntun agenda
besar revolusi nasional bersama rakyat. Akibatnya gerakan mobilisasi massa yang
begitu besar, yang telah dibangun lama dibajak oleh tokoh konservatif yang
masih dalam enclave orba seperti Amien Rais, Gus Dur dan Megawati pada
detik-detik terakhir. Sehingga agenda reformasi tak mampu mendorong perubahan
besar, karena kroni-kroni orba masih tetap bergentayangan di pusat-pusat
pengambilan keputusan.
Setelah hampir 17 tahun masa reformasi, banyak sekali
kegundahan rakyat terhadap aktivisme gerakan Mahasiswa. Mitos mahasiswa sebagai
agent of change menjauh dari realita yang ada. Para mahasiswa lebih
senang dan bangga jadi juru keplok (tepuk tangan) di acara-acara TV atau
duduk manis di pusat perbelanjaan atau di tempat nongkong modern yang begitu
gemerlap dan jauh dari kesulitan hidup rakyat kecil. Di sana mereka dapat
leluasa berbicara tentang artis idola, film populer serta trend atau mode
pakaian terbaru, dan tak lupa mencibir setiap kali ada demo yang memacetkan
jalan atau tak terima ketika upah buruh naik yang membuat para buruh dapat
hidup layak.
Di sisi yang lain gerakan mahasiswa dalam organisasi
kemahasiswaan cenderung tersandera dengan isu-isu elit yang menyetir media
massa nasional. Mereka seringkali terjebak pada romantisme masa lalu, seperti
seorang ABG yang ditinggal kekasihnya kemudian gagal move-on. Prestasi
bagi mereka adalah ketika berhasil membuat event besar dengan mendatangkan
artis papan atas. Kalau begitu apa bedanya mahasiswa dengan event organizer
(EO)? Coba hitung berapa banyak organisasi mahasiswa yang tetap berada di rel
awalnya untuk mengasah para intelektual muda yang mampu memperjuangkan
kehidupan rakyat dan mengkritisi penguasa?
Problematika tersebut bukanlah sesuatu yang jatuh dari
langit (ahistoris). Tetapi tak dapat dilepaskan pada akar sejarah. Banyak
pengamat menganggap hal ini adalah buah dari neoliberalisme yang menyebabkan
terjadinya komersialisasi pendidikan atau analisa budaya yang melihat karena
pengaruh habitus. Namun analisa tersebut mengandaikan mahasiswa sebagai
makhluk yang tak bergerak yang dapat disetir kesana kemari. Padahal mahasiswa
adalah manusia yang berfikir, berhasrat dan bergerak (hidup). Itu adalah faktor
eksternal sedangkan faktor internal adalah tentang dinamika gerakan di tubuh
organisasi mahasiswa ini. Analisa yang lebih genit lagi adalah ketika
menganggap hal tersebut adalah faktor moralitas, yang solusinya adalah
penanaman nilai agama atau ceramah motivasi surgawi.
Sejarah Gerakan Mahasiswa
Dari Masa ke Masa
Sejarah pergerakan Indonesia tak bisa dilepaskan pada
masa perkembangan 1912-1926 atau yang menurut Takashi Shiraishi adalah
peristiwa ‘Zaman Bergerak’. Peran para intelektual muda yang membawa gagasan
baru dalam dunia pergerakan mengalir deras dalam kesadaran politik rakyat.
Zaman pergerakan di Indonesia pada masa itu mulai menampilkan kesadaran politik
baru dalam bentuk yang modern dan akrab dengan kita saat ini, seperti surat
kabar, rapat, pemogokan, serikat, partai dan ideologi. Hal tersebut tidak mungkin
dapat ditemui dari masa sebelumnya dimana gerakan lebih bersifat mesianistik
atau yang dipimpin para feodal dengan cara tradisional.
Kesadaran politik rakyat terbentuk tidak hanya melalui
interaksi sosial, namun melalui aktivitas sosial dan aktivitas politik
terorganisasi dengan cita-cita untuk merdeka. Mobilisasi massa secara besar
telah menciptakan radikalisasi dalam gerakan. Rakyat mulai aktif melakukan
berbagai aksi pemogokan dan tuntutan. Gagasan Marxisme atau sosialisme ilmiah
yang dibawa oleh Henk Sneevliet serta Tan Malaka menjadi pijakan penting dalam
gerakan. Ketika gerakan kiri diberangus pada penghujung 1926, kekosongan
tonggak gerakan diambil alih oleh kelompok intelektual muda nasionalis kiri
radikal yang telah terbentuk kesadaran politiknya pada 1920an, seperti Soekarno
dengan PNI dan gagasan Marhenismenya.
Datangnya Jepang hingga kemerdekaan pada 1945 tak bisa
dipisahkan dari kekuatan gerakan rakyat ini. Mereka melakukan perang gerilya,
mogok, vergadering, aksi massa, berorganisasi, rapat akbar dan berpartai
untuk menuntaskan proses revolusi nasional yang anti neo-kolonialisme dan anti
neo-imperialisme. Para mahasiswa, pemuda bersama rakyat berupaya menghabisi
sisa-sisa kolonialisme dan feodalisme dengan tuntutan nasionalisasi, land
reform dan berdikari.
Namun pada 1965-1967, terjadi penghancuran gerakan
revolusi nasional yang hampir 60 tahun telah terbangun. Pelakunya adalah rezim
Orde Baru (orba). Gerakan mahasiswa pada 1965 yang dipelopori oleh KAMI
(Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia) yang dibentuk atas anjuran Mayor Jendral
Syarif Thayib, Menteri Pendidikan Tinggi dan Ilmu Pengetahuan pada 25 Oktober
1965, adalah gerakan yang berselingkuh dengan Angkatan Darat dalam mendirikan
orba. Setelah orba tegap memimpin, para pemimpin KAMI banyak yang masuk dalam
pemerintahan sebagai timbal jasa. Tentu ada yang tak terserap dan bergerak di
luar.
Gerakan mahasiswa pada tahun 1970an, terjebak pada
kerangka gerakan moral. Seperti tokoh dalam gerakan tersebut Arief Budiman,
yang menyerukan gerakan Golput atau Golongan Putih terhadap Pemilu yang tak
adil. Gerakan mahasiswa pada masa ini hanya bergulat dengan teori, membuat
sikap pernyataan dan menegur penguasa tanpa pernah melakukan gerakan mobilisasi
massa serta bergabung dengan massa rakyat yang dihisap oleh rezim orba.
Kebijakan ‘massa mengambang’ yang digagas oleh Ali
Moertopo telah membuat rakyat buta politik. Keadaan tersebut membuat masyarakat
yang marah terhadap penguasa tak dapat menyalurkan amarahnya dalam gerakan
politik yang terorganisasi, sehingga yang terjadi adalah kerusuhan. Hingga
terjadi peristiwa Malari (Malapetaka Limabelas Januari) yang dilakukan generasi
mahasiswa 1973-74. Akibat proses tersebut rezim Soeharto mengambil tindakan
normalisasi kehidupan kampus (NKK) dalam kehidupan politik. Karena kampus
selama periode tersebut menjadi pusat mobilisasi mahasiswa dan pusat kritik
terhadap penguasa.
Gerakan mahasiswa pada era akhir 1980an sampai 1998
mulai belajar dari kekalahan atau kesalahan gerakan sebelumnya paska 1965,
yaitu karena terpisah dari kekuatan rakyat dan mereka tak memiliki basis
massa yang kuat dan luas (analisa Danial Indrakusuma, aktivis mahasiswa
& tokoh pendiri PRD). Belajar dari gerakan mahasiswa di Filipina pada
1980an yang berhasil menggulingkan diktator Marcos dengan strategi ‘Live-in’
(hidup dan berjuang bersama rakyat), maka gerakan mahasiswa pada masa itu
melakukan strategi yang sama. PRD yang terbentuk pada 1994 (diinisasi oleh
mahasiswa, aktivis, buruh, petani dan lainnya) memainkan peran penting dalam
kembali menjalankan politik mobilisasi massa dengan cara Live-in di
kawasan perburuhan, kawasan pinggiran kota, dan di tengah konflik agraria.
Hingga akhirnya rezim Soeharto menyatakan PRD sebagai partai terlarang dengan
menangkap para aktivisnya. Hal tersebut membuat PRD melakukan gerakan bawah
tanah dengan membawa bendera berbeda yang mampu mendorong lengsernya Soeharto
pada Mei 1998 setelah 32 tahun memimpin.
Seperti yang ditanyakan oleh Pram, gerakan mahasiswa
atau pemuda yang berhasil menggulingkan Soeharto tersebut ternyata tidak
menghasilkan tokoh politik nasional pada periode era reformasi. Bahkan sampai
sekarang, tokoh nasional hanya diisi oleh orang-orang dari enclave orba.
Pada 1999 ada Amin Rais, Megawati dan Gus Dur, sedangkan sampai sekarang hanya
diisi oleh SBY, Jusuf Kalla, dan Prabowo. Jokowi memang tidak termasuk enclave
peninggalan orba, namun ia tak terlahir dari proses gerakan dan tak memiliki gagasan
besar tentang ke-Indonesiaan.
PRD sebagai pelopor gerakan melengserkan Soeharto
dalam pemilu 1999, juga tidak dapat berbicara banyak. Jargon mereka “Pilih PRD
atau Boikot Pemilu bersama Rakyat” menunjukan adanya kebimbangan dan perpecahan
di internal partai tersebut dalam terjun dalam ajang kontestasi politik.
Perpecahan terjadi karena ada dua arus pemikiran berbeda, apakah mereka akan
bergerak di luar sistem dengan politik ekstra-parlementer atau bergerak di
dalam. Sebelumnya mereka dikhianati oleh 4 tokoh reformis yaitu Megawati,
Abdurahman Wahid, Amin Rais dan Sultan Hamengkubuwono X melalui pertemuan
Ciganjur, yang kemudian menghentikan sebagian besar kekuatan mobilisasi massa
yang memiliki potensi besar membawa roda pemerintahan kembali menapaki semangat
revolusi nasional.
Hingga saat ini, PRD telah mengalami masa degenerasi
dan deidiologisasi, karena aktivis-aktivis yang bergerak di dalamnya selama
periode 1994-2000an telah banyak yang keluar. Garis politik PRD dari gagasan
sosialisme demokrasi kerakyatan, sekarang cenderung mengarah ke Soekarnoisme.
PRD pun pada akhirnya kehilangan pengaruhnya pada basis massa rakyat. Keadaan
tersebut dipengaruhi oleh hilangnya musuh bersama yaitu Soeharto pada era orba.
Setelah Soeharto sukses dijatuhkan, bayangan akan musuh bersama menjadi samar.
Ketiadaan musuh bersama membuat mereka kehilangan dukungan dari rakyat.
Selain itu faktor yang penting sebagaimana kesimpulan
dari Pram dalam menjawab pertanyaan di awal adalah bahwa: “Kita secara
nasional dilahirkan oleh revolusi nasional dan berhasil menghalau Imperialisme…
disusul perjuangan menuntaskan revolusi: sekarang itu sudah padam samasekali.
Kesimpulan saya: karena perkembangan orba menyalahi sejarah sebagai titik awal
tempat bertolak sehingga kehilangan arah tak tau tujuan, alias ngawur”.
Pembantaian masal pada organ gerakan kiri,
penghancuran terhadap gagasan revolusioner dan pemberangusan mobilisasi rakyat
untuk menuntaskan revolusi nasional selama masa orba, telah membuat rakyat
menjadi buta politik. Kekosongan gagasan revolusioner telah mencuatkan gagasan
konservatif. Setelah jatuhnya Soeharto, rakyat yang dibuat menjadi masa
mengambang, banyak yang tak mengetahui kemana mereka harus menyandarkan pilihan
politiknya. PRD tidak mampu melakukan kampanye masif di berbagai media massa
umum, sementara koran yang dibuatnya tidak mampu menyentuh segala lini
masyarakat.
Akibatnya rakyat yang tengah berada pada masa krisis
menyandarkan pilihan politiknya pada tokoh-tokoh reformis yang mendapat banyak
sorotan oleh media massa. Hilangnya budaya berserikat, berpartai, rapat akbar,
aksi, mogok dan bersuara telah menjadi salah satu penyebab kegagalan era
reformasi ini. Kekosongan politik kiri, membuat para pemuda pengangguran,
pemuda di pinggiran kota, pemuda desa yang tereksklusi dari dunia pertanian dan
begitu pula para mahasiswa pada akhirnya menjatuhkan pilihan politiknya pada
gagasan politik relijius konservatif atau relijius fundamentalis
radikal. Para pemuda tersebutlah yang sekarang menjadi basis masa dari
organisasi semacam FPI (Front Pembela Islam).
Apa Yang Harus Dilakukan?
Kini kita dihadapkan pada hasil dari proses
penghancuran atau kontra-revolusi gerakan politik rakyat oleh rezim orba.
Konsep “massa mengambang” yang diterapkan oleh rezim orba telah membuat mahasiswa
begitupula rakyat kebanyakan, terjerat dalam kesadaran palsu mereka dan
imajinasi ketakutan terhadap perjuangan politik. Artinya gerakan mahasiswa ke
depan harus mampu menghubungkan dan membangun kembali atau melampaui perjuangan
politik rakyat yang terbentuk pada 1912-1965.
Gerakan mahasiswa juga harus belajar dari perjuangan
gerakan mahasiswa pada masa sebelumnya. Mereka harus bersikap tegas dengan
berbagai kajian dan tidak hanya riuh dengan selebrasi politik. Tidak hanya
bergerak dalam dunia maya seperti dengan gerakan petisi online, akan
tetapi bergerak dalam aksi nyata. Mahasiswa di Chile berhasil mendorong
kebijakan kuliah gratis yang dibiayai dari pajak korporasi, karena mereka turun
ke jalan-jalan untuk aksi massa dengan tuntutan-tuntutan yang menekan penguasa
sejak tahun 2006 melalui apa yang dinamai Penguin Revolution.
Artinya, gerakan mahasiswa selain berkutat dengan
teori, mereka harus turun ke massa rakyat melalui strategi live-in dengan
melakukan aktivitas sosial-politik demi menciptakan kesadaran politik pada
massa dan keyakinan atas kekuatannya. Melakukan berbagai kajian dan membentuk
media propaganda seperti Koran menjadi penting untuk memperkuat argumen dan
memperluas kesadaran massa. Kebijakan pemerintah yang masih terjerat dalam politik
neoliberal, membuat terus terjadinya berbagai konflik yang melibatkan rakyat
dengan pemerintah atau swasta serta dengan keduanya. Di sana mereka dapat turut
membantu perjuangan rakyat dengan membentuk blok historis. Dan hal utama adalah
untuk menghidupkan kembali “perjuangan menyelesaikan revolusi nasional
Indonesia.
Referensi :
Bourchier, David & Vedi R Hadiz. 2005. Indonesian Politics and
Society. London & New York: RouledgeCurzon.
Lane, Max. 2014. Unfinished Nation. Yogyakarta: Penerbit Djaman Baroe.
Robinson, Richard & Vedi R Hadiz. 2004. Reorganising Power in
Indonesia: The Politics of Oligarchy in an Age of Markets. London & New
York: RouledgeCurzon.
Shiraishi, Takashi. 2005. Zaman Bergerak: Radikalisme Rakyat di Jawa
1912-1926. Jakarta: Pustaka Utama Grafiti.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar